Oleh. Rio Efendi Turipno, S.Psi
Pada saat pergantian tahun, kita akan menyaksikan betapa gencarnya liputan media massa dalam rangka menyambut datangnya tahun 2010M. Terlihat bahwa masyarakat bersuka cita menggantungkan harapan-harapan dengan adanya hal itu.
Sebelum membahas lebih jauh tentang hukum perayaan menyambut tahun baru, mari kita simak terlebih dahulu sejarah penetapan tahun 1 januari sebagai pertanda tahun baru.
Asal-Usul Tahun Baru
Asal-Usul Tahun Baru
Bila melongok sejarahnya, penetapan 1 Januari sebagai pertanda Tahun Baru bermula pada abad 46 Sebelum Masehi (SM). Ketika itu Kaisar Julius Caesar membuat kalender Matahari. Kalender yang dinilai lebih akurat ketimbang kalender-kalender lain pernah dibuat sebelumnya.
Sebelum Caesar membuat kalender Matahari, pada abad 153 SM, Janus seorang pendongeng di Roma yang menetapkan awal mula tahun. Dengan dua wajahnya, Janus mampu melihat kejadian di masa lalu dan masa depan. Dialah yang menjadi simbol kuno resolusi (sebuah pencapaian) Tahun Baru. Bangsa Roma berharap dengan dimulainya tahun yang baru, kesalahan-kesalahan di masa lalu dapat dimaafkan. Sebagai penebus dosa, tahun baru juga ditandai dengan tukar kado.
Tahun baru masehi awalnya merupakan suatu ritual Bangsa Roma, dan bahkan dianggap sebagai penebus dosa. Tahun baru merupakan suatu hari yang datang kembali dan terulang, yang diagung-agungkan oleh orang-orang kafir. Atau sebutan bagi tempat orang-orang kafir dalam menyelenggarakan perkumpulan keagamaan. Namun saat ini budaya tersebut sudah masuk kedalam kebiasaan sebagian besar masyarakat dunia, tanpa terkecuali masyarakat muslim ikut serta merayakan hari raya mereka. Di antaranya ada yang memberikan ucapan selamat atau ikut meramaikannya dengan berbagai acara seperti meniup terompet pada malam tahun baru dan yang semisalnya. Serta memasang hiasan-hiasan di rumahnya pada saat perayaan mereka. Padahal perayaan ini merupakan campuran dari berbagai budaya Kafir. Diantaranya pesta kembang api (china), peniupan trompet (Yahudi), membunyikan Lonceng (Kristen), menyambut Matahari Baru (Roma), semuanya membaur dalam satu bingkai Tahun Baru
Lantas bagaimanakah Islam memandang masalah ini:
Dalam merayakan tahun baru, tentu ada biaya yang dikeluarkan. Bahkan, sampai-sampai ada yang menghabiskan uang 1 sampai 2 milyar hanya untuk mengadakan acara peringatan pergantian tahun!?! Padahal acara tersebut tidak memiliki manfaat yang begitu berarti, baik untuk kebutuhan duniawi apalagi kebutuhan ukhrowi. Maka acara seperti ini dalam syariat islam dinilai sebagai acara yang sia-sia saja. Sehingga menghamburkan banyak harta dalam acara seperti ini adalah termasuk menyia-nyiakan harta, atau disebut juga tabdzir, Allah melarang perbuatan tersebut dan mengecam pelakunya yang disebut mubadzir.
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya para mubadzir (pemboros) itu adalah saudara-saudara dari setan. Dan setan itu adalah makhluk yang ingkar terhadap Rabb-nya.” (Qs. Al Isra: 27)
Allah Ta’ala tidak mencintai orang-orang yang memboroskan harta. Sedangkan uang yang digunakan untuk perayaan tahun baru adalah termasuk perkara membuang-buang harta. Maka seorang muslim yang baik tidak akan mau dengan mudah membuang-buang harta hanyanya untuk perayaan semacam ini yang sama sekali tidak akan menambah kemuliaannya di dunia maupun di akhirat.
Islam Melarang Bergadang Tanpa Manfaat
Pada malam tahun baru, kebanyakan orang akan menunda jam tidur mereka demi menunggu hingga pukul 12 malam, dimana terjadi pergantian tahun masehi. Mereka isi waktu tersebut dengan bersenang-senang, ngobrol, konvoi keliling kota, dan banyak hal yang tidak bermanfaat yang dilakukan. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci ngobrol-ngobrol atau kegiatan tak berguna lainnya yang dilakukan setelah selesai shalat isya. Jika tidak ada kepentingan, Rasulullah menganjurkan untuk langsung tidur, agar dapat bangun di malam hari untuk beribadah.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kepada kami tercelanya mengobrol sesudah shalat ‘lsya.’” (HR. Ahmad, Ibnu Majah)
Islam sebagai agama yang penuh rahmah, melarang umatnya untuk bergadang tanpa manfaat.
Juga diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh mengobrol (pada malam hari) kecuali dua orang; Orang yang akan shalat atau musafir.” (HR. Ahmad)
Maka orang yang begadang, menghabiskan malamnya untuk menunggu dan menikmati tahun baru, telah melanggar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diatas. Dengan begadang, mereka melalaikan shalat malam, berdzikir pada Allah Ta’ala, di pagi hari pun kesiangan dan telat melaksanakan sholat shubuh. Sungguh, banyak sekali kerugian akibat dari mengikuti perayaan tahun baru ini.
Sedikit uraian diatas semoga dapat dijadikan sebagai renungan bagi kita untuk berpikir seribu kali sebelum mengikuti dan menghadiri acara perayaan tahun baru. Karena selain terdapat larangan untuk mengikutinya, juga terdapat kerugian yang besar akibat dari mengikutinya.
Sikap muslim
Setelah memahami sejarah yang demikian itu, sangat jelas dan gamblang sekali sebenarnya bahwa Perayaan Tahun Baru Masehi dengan segala perangkatnya adalah sangat bertentangan dengan nilai-nilai syariat islam, dan bagi orang muslim atau muslimah jika mereka mengikitu adat atau kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang bukan dari kalangan islam, maka sebenarnya mereka bukan termasuk sebagai orang islam, tapi termasuk dari golongan mereka (orang kafir dan musryik).
Inilah yang dikatakan sebagai “tasabuh” (menyerupai). Sebagaimana sabda Rasullullah SAW: “Barangsiapa yang mengikuti suatu golongan tertentu, maka ia termasuk golongan tersebut”, dan dalam konteks ini bila seorang muslim atau muslimah merayakan Tahun Baru Masehi walau sekecil apapun sebenarnya dia sudah termasuk orang kafir atau musryik yang divonis oleh Allah SWT akan masuk ke dalam Neraka Jahannam.
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni dari kalangan ahli kitab (yahudi dan nasrani) dan orang-orang musryik (akan masuk) ke neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya, mereka itulah seburuk-buruknya mahluk”. (QS.Al-Bayyinah:6)
Allah SWT juga telah berpesan dalam Al Qur’an
“Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir di dalam negeri”. (QS.Ali Imran:196)
Dari dua ayat tersebut, makan bagi seorang muslim atau muslimah dia harus memiliki sikap yang tegas dan memegang prinsip untuk tidak terbawa oleh arus yang berjalan atau berkembang di tengah-tengah mansyarakat, biarpun orang lain mengatakan kita ‘fanatik’ atau ‘fundamen’, silahkan, yang penting kita dapat aman atau terhindar dari siksa neraka.
Seorang muslim seharusnya takut terhadap siksa neraka dan amal perbuatannya menjadi hangus disebabkan karena lebih mengikuti langkah syaitan atau perbuatan yang berbau kekafiran, sebagaimana QS.Al-Maidah:5:
“Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak mau mengikuti nilai ajaran Islam), maka hapuslah segala amal (kebaikan)-nya dan ia termasuk orang yang merugi”.
Demikian juga Allah dengan tegas mengingatkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk memutuskan perkara diantara manusia menurut apa yang diturunkan oleh Allah dan untuk tidak mengikuti hawa nafsu mereka (QS.Al-Maidah:49).
Disamping itu Rasulullah SAW pernah berwasiat kepada para sahabatnya:
“Akan datang suatu masa ketika kalian mengikuti cara hidup dan istiadat-istiadat orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga kalau dia masuk ke lubang biawakpun kamu akan mengikutinya”. Kemudian para sahabat bertanya: “Umat yahudi dan nasrani-kah itu, ya Rasulullah SAW?” maka jawab Rasulullah SAW : “siapa lagi kalau bukan dari mereka!” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan dasar Al-Qur’an dan Hadist yang sahih seperti itu, masikah kita umat Islam tidak mau percaya dengan Allah SWT dan Rasul-Nya? Mestinya kalau kita menjadi muslim yang sejati kita harus sami’na wa-tha’na (mendengar dan ta’at sepenuhnya) terhadap apa yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya (QS.An-Nuur:51), dan memasuki Islam secara totalitas atau ‘kaffah’ (tidak parsial) (QS.Al-Baqarah:208), dan mestinya seorang muslim tidak ada keraguan dalam menerima ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya (QS.Al-Hujarat:15).
Firman Allah SWT yang sudah jelas dan gamblang: “Kebenaran itu berasal dari Rabb-mu, oleh karena itu, janganlah sekali-kali kamu termasuk orang yang ragu-ragu” (QS.Al-Baqarah:147).
Maukah kita sebagi muslim dikatakan sebagai orang kafir atau orang munafik?
Jawabannya pasti kita tidak mau dikatakan sebagai orang kafir atau munafiq, karena kedua golongan itu pasti celaka di akhirat kelak.
Apakah kita termasuk orang yang suka merayakan Tahun Baru Masehi???
Wallahu’alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar