Lagi-lagi Ujian Nasional (UN) menuai pro-kontra setiap penghabisan tahun pelajaran sekolah. Mahkamah Agung sudah memutuskan agar UN tidak lagi dijadikan standar kelulusan. Namun, masih saja Kemendiknas berkilah bahwa keputusan itu bukan keputusan pelarangan penyelenggaraan UN. Kritik kanan-kiri terus bermunculan. Rupanya kritik-kritik tidak terlalu digubris. Kebijakan UN tetap saja terus berlanjut.
UN memang bukan segala-galanya dalih para pengambil kebijakan UN saat menampik tuduhan UN telah mendistorsi pendidikan. Akan tetapi kenyataannya, ketika nilai UN dijadikan salah satu prasyarat mutlak penentuan kelulusan sekolah, UN tetap menjadi hantu menakutkan bagi sekolah, guru, orang tua, dan murid sendiri setiap menjelang berakhirnya masa sekolah. Akhirnya, hampir semua tujuan sekolah diarahkan pada kelulusan UN. Keberhasilan melewati UN seolah-olah menjadi pencapaian tertinggi sekolah.
Kalau kenyataan ini dikonfrontasi dengan tujuan pendidikan nasional, semestinya kebijakan UN ini dipikirkan ulang secara serius. Dalam UU Sisdiknas Bab I Pasal 1 pendidikan didefinisikan sebagai ”usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Pertanyaannya adalah, relevankah evaluasi model UN saat ini dijadikan kebijakan evaluasi utama sebuah pendidikan yang didefinisikan seperti di atas?
Sejak awal UN hanya akan ampuh digunakan untuk mengukur kemampuan anak secara kognitif belaka. Ukurannya berdasarkan kemampuannya menguasai mata pelajaran secara verbal yang bertumpu pada kemampuan intelektual anak. Padahal, kemampuan intelektual ini bukan merupakan satu-satunya faktor keberhasilan pendidikan. Banyak penelitian, terutama yang berbasis teori multiple intelligence yang menunjukkan bahwa kecerdasan yang dimiliki anak sangat beragam, bukan hanya kecerdasan intelektual-kognitif. Oleh sebab itu, sangat tidak menilai berhasil dan tidaknya peserta didik hanya dari sisi kemampuan kognitif-intelektual.
Apalagi kalau kebijakan ini dikaitkan dengan definisi dan tujuan pendidikan versi Undang-Undang Sisdiknas Tahun 2003. UU Sisdiknas menginginkan pendidikan dijadikan sebagai alat pembentuk karakter generasi bangsa, bukan sekadar menciptakan manusia ”berotak”. Karakter anak bangsa ini ditentukan oleh hal-hal berikut, 1. Spiritualitas, 2. Kendali emosional, 3. Akhlak mulia, 4. Kepribadian, 5. Kecerdasan, dan 6. Keterampilan.
Dalam hal ini ranah kemampuan kognitif hanya menjadi salah satu bagian pelengkap dari suatu karakter utuh yang diharapkan. Itu pun rasanya hanya terwakili kata ”kecerdasan” yang bisa juga diartikan kecerdasan dalam bidang-bidang nonkognitif. Ini semakin menunjukkan bahwa ranah kognitif bukan merupakan unsur pokok pembangun keberhasilan pendidikan.
**
Kalau kemampuan kognitif bukan merupakan satu-satunya unsur keberhasilan pendidikan, bahkan bukan merupakan hal pokok, lantas mengapa sistem evaluasi model UN masih digadang-gadang sebagai alat ukur ideal untuk melihat keberhasilan pendidikan? Selembar kertas yang disodorkan saat UN mustahil dapat mengukur spiritualitas, akhlak mulia, kepribadian, kendali emosi, dan keterampilan. Bahkan, sekadar untuk mengukur kemampuan kognitif pun sistem ini banyak lemahnya. UN yang dipukul secara nasional mengabaikan faktor keunikan proses pendidikan di sekolah-sekolah yang standarnya tidak sama. Sekolah di ujung Papua atau di pedalaman Kalimantan dengan fasilitas serbaminim dianggap sama saja dengan sekolah-sekolah unggulan di Jakarta.
Kalau tujuan utama pendidikan kita seperti yang ditunjukkan UU Sisdiknas, semestinya tidak perlu ada lagi UN untuk menentukan kelulusan dan keberhasilan pendidikan. Evaluasi harus diberikan secara otonom dan kreatif pada guru, bukan pada selembar kertas ujian. Hanya gurulah yang dapat melihat sejauh mana perkembangan anak didiknya dari aspek yang diinginkan Sisdiknas di atas. Sebab, gurulah yang secara intensif mengikuti perkembangan peserta didiknya.
Problem besar pendidikan kita saat ini adalah ketidakberhasilan membangun karakter anak bangsa, bukan tidak berhasil menciptakan orang-orang pintar dan cerdas. Kebijakan mercusuar UN sama sekali tidak mencerminkan perhatian terhadap masalah pokok pendidikan kita ini. UN justru semakin mengokohkan kebijakan pendidikan yang timpang; pendidikan yang hanya meng-install kecerdasan kognitif, bukan kecerdasan holistik yang dapat membangun karakter manusia secara mendasar dan paripurna.
UN telah dengan sangat kasar merenggut ruang-ruang pendidikan hakiki bagi anak bangsa ini. UN telah menjadi palu godam penghancur karakter pendidikan yang sejatinya adalah hubungan antarguru dan murid. UN telah mengancam ketenangan para guru mempersiapkan generasi bangsa ini menjadi manusia paripurna. Mereka dipaksa agar menuruti kemauan penguasa yang hampir tidak bernurani dan tidak berhasil menyelami makna pendidikan yang sesungguhnya. UN pun sampai pada taraf tertentu berpotensi besar menjadi ancaman bagi kemanusiaan. (Tiar Anwar Bachtiar, dosen STAI Persis Garut, mahasiswa S-3 FIB Universitas Indonesia)
Dimuat di HU Pikiran Rakyat, 29 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar