Kalian pasti tahu kapan ulang tahun kalian dan berapa umur kalian bersamaan dengan datangnhya hari ulang tahun kalian. Berbeda lho dengan zaman dahulu yang kebanyakan orang tidak tahu kapan dilahirkan.
Saat itu, orang tua tidak mencatat tanggal yang penting tersebut, lantas melupakannya. Saat mereka ditanya, “kapan kau lahir?” ada yang menjawab, “waktu gunung Krakatau meletus!” Atau “waktu zaman Jepang,” dan sebagainya.hehehe lucu juga ya ?
Tapi tahukah kalian, lebih dari 5 ribu tahun yang lalu, tanggal lahir putra-putri Raja Mesir sudah dicatat dan ulang tahun mereka juga dirayakan lho. Begitu juga dengan Babilonia.
Jadi kalau Fir’aun (Raja Mesir)berulang tahun, wah pasti super heboh. Tapi, ulang tahun perempuan tidak dirayakan, kecuali ulang tahun Ratu. Rakyat jelata tidak pernah merayakan ulang tahunnya.
Orang Yunani kuno meniru orang Mesir merayakan ulang tahun. Pada masa itulah mulai muncul kue ulang tahun. Oarng Yunani belajar membuat kue kue manis dari orang Persia.
Orang Yunani pun memperingati ulang tahun dewa dewi mereka. Bahkan ulang tahun dewa-dewi ini diperingati setiap bulan . pada hari ulang tahun Artemis (Dewi Bulan dan Dewi Perburuan, mereka membuat kue besar campur madu. Kue itu dihiasi lilin yang melambangkan cahaya bulan di kegelapan malam.
Anehnya, masa itu pun ulang tahun perempuan dan anak-anak tidak dirayakan. Padahal laki laki dewasa merayakan ulang tahunnya meskipun sudah meninggal beberapa tahun. Oarng Romawi juga menuruti kebiasaan orang Yunani ini. Menjelang keruntuhan Kekaisaran Romawi, orang mulai insyaf kalau pesta pora berlebihan tidak baik. Kemudian, muncul orang orang yang mengajarkan manusia agar hidup sederhana. Lebih baik kekayaan dipakai menolong sesama. Pesta pesta ulang tahun pun menghilang beberapa ratus tahun.
Mulai abad ke-12, di eropa ada gerakan mencatat tanggal lahir semua orang, termasuk kaum perempuan. Manusia menaruh perhatian lagi pada tanggal lahirnya dan mulai merayakan ulang tahunnya. Kue Ulang Tahun muncul lagi. Bukan dimulai oleh kaum bangsawan, melainkan oleh petani petani Jerman. Dari sini, perayaan ulang tahun dilaksanakan secara sederhana dalam keluarga.
Kemudian, anak yang berulang tahun boleh memilih sendiri makanan untuk hari ulang tahunnya. Lalu ketika fajar menyingsing pada hari itu, si anak dibangunkan, ia diberi kue besar dengan lilin menyala yang menancap diatasnya. Jumlah lilin sama dengan jumlah umur si anak.
Nyala lilin itu juga diadopsi dari Kristen yang melambangkan pengorbanan Kristus di tiang salib untuk menebus dosa manusia, itulah filosofi lilin yang rela terbakar untuk menerangi sekitarnya.
PANDANGAN ISLAM TENTANG ULANG TAHUN
Cukup banyak ulama tidak menyetujui perayaan ulang tahun apalagi diadakan tiap tahun. Tentu mereka datang dengan dalil dan hujjah yang kuat. Di antara alasan penolakan mereka terhadap perayaan ulang tahun antara lain:
1. Ulang Tahun Bukan Suatu Keharusan
Ulang tahun bila sampai menjadi keharusan untuk dirayakan dianggap sebuah bid’ah. Sebab Rasulullah SAW belum pernah memerintahkannya, bahkan meski sekedar mengisyaratkannya pun tidak pernah. Sehingga bila seorang muslim sampai merasa bahwa perayaan hari ulang tahun itu sebagai sebuah kewajiban, masuklah dia dalam kategori pembuat bid’ah.
2. Ulang tahun adalah produk Barat/ non muslim
Selain itu, kita tahu persis bahwa perayaan uang tahun itu diimpor begitu saja dari barat yang nota bene bukan beragama Islam. Sedangkan sebagai muslim, sebenarnya kita punya kedudukan yang jauh lebih tinggi. Bukan pada tempatnya sebagai bangsa muslim, malah mengekor Barat dalam masalah tata kehidupan.
Seolah pola hidup dan kebiasaan orang Barat itu mau tidak mau harus dikerjakan oleh kita yang muslim ini. Kalau sampai demikian, sebenarnya jiwa kita ini sudah terjajah tanpa kita sadari. Buktinya, life style mereka sampai mendarah daging di otak kita, sampai-sampai banyak di antara kita mereka kurang sreg kalau pada hari ulang tahun anaknya tidak merayakannya. Meski hanya sekedar dengan ucapan selamat ulang tahun.
3. Apakah Manfaat Merayakan Ulang Tahun?
Selain itu perlu juga kita renungkan sebagai muslim, apakah tujuan dan manfaat sebenarnya bisa kitadapat dari perayaan ini? Adakah nilai-nilai positif di dalamnya? Ataukah sekedar meneruskan sebuah tradisi yang tidak ada landasannya? Apakah ada di antara tujuan yang ingin dicapai itu sesuatu yang penting dalam hidup ini? Atau sekedar penghamburan uang?
Pertanyaan berikutnya,adakah sesuatu yang menambah iman, ilmu atau amal? Atau menambah manfaat baik pribadi, sosial atau lainnya? Pertanyaan berikutnya dan ini akan menjadi sangat penting, adakah dalam pelaksanaan acara seperti itu maksiat dan dosa yang dilanggar?
Yang terkahir namun tetap penting, bila ternyata semua jawaban di atas positif, dan acara seperti itu menjadi tradisi, apakah tidak akan menimbulkan salah paham pada generasi berikut seolah-olah acara seperti ini ‘harus’ dilakukan? Hal ini seperti yang terjadi pada upacara peringat hari besar Islam baik itu kelahiran, isra` mi`raj dan sebagainya. Jangan sampai dikemudian hari, lahir generasi yang menganggap perayaan ulang tahun adalah ‘sesuatu’ yang harus terlaksana. Bila memang demikian, bukankah kita telah kehilangan makna?
Kalau menimbang-nimbang pernyataan di atas, ada baiknya kita yang sudah terlanjur merayakan ulang tahun buat anak atau bahkan untuk diri kita sendiri melakukan evaluasi besar. Sebaliknya, mungkin ada baiknya pemikiran yang disampaikan oleh Dr. Yusuf Al-Qradawi tentang ulang tahun untuk anak. Misalnya, pada saat anak itu berusia 7 tahun, tidak ada salahnya kita ajak dia untuk menyampaikan pesan-pesan dalam acara khusus tentang keadaannya yang kini menginjak usia 7 tahun. Di mana Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada para orang tua untuk menyuruh anaknya shalat di usia itu.
Bolehlah dibuat acara khusus untuk penyampaian pesan ini, agar terasa ada kesan tertentu di dalam diri si anak. Bahwa sejak hari itu, dirinya telah mendapatkan sebuah tugas resmi, yaitu diperintahkan untuk shalat.
Nanti di usia 10 tahun, hal yang sama boleh dilakukan lagi, yaitu sebagaimana perintah Rasulullah SAW untuk menambah atau menguatkan lagi perintah shalat. Kali ini dengan ancaman pukulan bila masih saja malas melakukan shalat. Bolehlah diadakan suatu acara khusus di mana inti acaranya menetapkan bahwa si anak hari ini sudah berusia 10 tahun, di mana Rasulullah SAW membolehkan orang tua memukul anaknya bila tidak mau shalat.
Kira-kira usia 15 tahun lebih kurangnya, ketika anak pertama kali baligh, boleh juga diadakan acara lagi. Kali ini orang tua menegaskan bahwa anak sudah termasuk mukallaf, sehingga semua hitungan amalnya baik dan buruk sejak hari itu akan mulai dicatat. Bolehlah pada hari itu orang tua membuat acara khusus yang intinya menyampaikan pesan-pesan ini.
Jadi bukan tiap tahun bikin pesta undang teman-teman, lalu tiup lilin, potong kue, bernyanyi-nyanyi, memberi kado. Pola seperti ini sama sekali tidak diajarkan di dalam agama kita dan cenderung tidak ada manfaatnya, bahkan kalau mau jujur, justru merupakan cerminan dari sebuah mentalitas bangsa terjajah yang rela mengekor pada tradisi bangsa lain.
Bukankah Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari padanya? Lalu mengapa kita bangsa Islam ini harus mengekor pada tradisi bangsa lain yang jauh lebih rendah?
Assalamualaikum warrohmatullah wabarokatuh, afwan... Mengapa antum mem'boleh'kan merayakan saat anak diharuskan sholat? Apa pula dasarnya? Afwan, jangan mengada2... Jangan pula berpendapat atas dasar mengira2 dari diri sendiri... harap perbaiki tulisan antum ini...sebelum ada pihak yg mengikutinya...
BalasHapusWassalamu’alaikum warrohmatullah wabarokatuh.
Walaikum salam Warahmatullahi Wabarakatuhu, Afwan atas postingan ini jika seandainya anda kurang sependapat dengan kami. Namun, alangkah bijaknya jika seandainya pembaca bisa memahami maksud pembolehan kami dalam perayaan Ulang Tahun bukan terletak pada merayakan pesta atas Hari Kelahirannya, melainkan solusi bagi orang tua yang sudah terlanjur merayakan Hari kelahiran anak mereka bisa dirubah dengan cara memasukkan pesan-pesan penting saat anak itu usianya bertambah di bumi sebagaimana yang telah kami uraikan di atas. Wallahu a'lam bisshawab.
Hapus