Oleh. Halimah Taslima *)
Teman merupakan tempat berbagi suka dan suka, adalah merupakan teman yang spesial. Yang biasa disebut dengan sahabat. Biasanya kita tidak akan segan untuk membagi dunia kita kepadanya, tentang apa yang menurut kita indah. Begitu pula saat mendung menerpa hati, maka sahabatlah tempat kita membuang semuanya.
Saat kita bicara teman maupun sahabat, maka yang terlintas di pikiran kita adalah yang baik-baik saja. Karena kita memang punya kecendrungan untuk berkomunikasi mendekatkan hati pada seseorang yang memang “baik”. Kadang bila kita menemukan “kekurangan” atau hal minus pada dirinya, kita akan membuat sebuah penarikan diri atau lebih parah lagi kita akan terikat dengan sebuah pikiran negatif tentang dirinya.
Rasulullah menganjurkan kita untuk memilih teman : “Bila berteman dengan seorang pandai besi. Maka kita akan ikut terbakar. Bila kita berteman dengan seorang penjual minyak wangi maka kita pun akan tertular dengan keharumannya.”
Mungkin makna yang bisa kita petik, bahwa berhati-hatilah dalam membina pertemanan. Karena dengan pertemanan kita pada seseorang, sedikit banyak akan pula mempengaruhi akhlak maupun pola pikir kita tentang hidup ini.
Tapi bila kita hanya punya pegangan, bahwa seorang teman harus selalu “baik” di mata kita, maka tentu lambat laun kita akan kehilangan seorang bahkan banyak teman. Karena pada dasarnya seorang teman punya keistimewaan masing-masing. Teman kita hanyalah seorang manusia biasa, seperti kita juga. Yang penuh dengan kelebihan maupun kekurangan.
Bagaimana berkilaunya kebaikan seseorang pastilah ada kekurangannya. Begitu pula bila kita balik lagi, bahwa tidak semua orang yang “jelek” hanya penuh kejelekan. Pasti ada hal plus yang dia punyai.
Semua yang diciptakan Allah SWT dimuka bumi ini pastilah ada hikmahnya. Bila kita menemukan “keindahan” akhlak seseorang, dan membuat kita nyaman dengannya maka apa yang dia punyai merupakan pelajaran bagi kita. Yaitu sebuah pelajaran agar kita bisa mengikutinya. Misalnya, saat saya datang ke sebuah tempat atau rumah, kemudian sang teman menyambut dengan ramah dan penuh kehangatan. Saya merasakan penerimaan penuh darinya. Maka bila seorang teman berkunjung ke rumah, maka saya akan berusaha meniru apa yang telah saya terima. Tentu dengan kemampuan saya.
Saat ada seorang teman, bila saya bercerita dan dia menanggapinya dengan “sangat baik” maka saya pun berusaha dapat melakukan hal tersebut. Begitu pula saat ada sebuah kata-kata yang menyejukkan hati, maka saya berusaha menyimpannya untuk saya bagi kepada orang lain. Tapi tidak semua yang baik dimata kita dapat kita lakukan. Karena pada dasarnya, kita harus tahu pula bahwa setiap yang baik dimata kita belum tentu sama pada pandangan orang lain.
Saat ada seorang teman yang diberi julukan “perhitungan”, maka saya pun sedikit terpengaruh. Otak pun mencatatnya “minus”. Atau saat ada orang yang terlihat “garang”, maka memori pun terpahat tentang orang tersebut. Ketemu seseorang yang terlihat sombong, membuat saya sedikit menarik diri.
Ternyata apa yang semuanya tidak mengenakkan perasaanku, ternyata itu pun punya hikmah. Saya bisa mengambil pelajaran bahwa apa yang dilakukannya padaku atau kepada orang lain, ternyata tidak memberi goresan kebaikan. Seperti bagaimana saya berusaha untuk me-input kebaikan orang maka saya pun ternyata harus pula berusaha menuliskan kekurangan orang lain sebagai bahan referensi untuk tidak melakukannya pula. Tapi itulah kekurangan kita, walau punya tekat yang baik, ternyata mengubah kebiasaan itu ternyata sangat sulit. Memang diperlukan kemauan sekuat karang, agar secara perlahan kita bisa mencapai sebuah kebaikan seperti yang kita inginkan.
Jika sesekali kita salah, maka hal wajar, karena sesungguhnya kita memang sedang berproses. Bukankah Allah lebih menyukai kebaikan yang sedikit, tapi dilakukan secara istiqomah? JIka pun kita terjatuh, maka bangkit adalah hal yang harus kita lakukan. Tidak ada orang yang sempurna di dunia ini. Yang ada hanyalah orang-orang yang tekun dan “ikhlas” memperbaiki dirinya guna mencapai tujuan mulia ( syurga ).
Keburukan teman merupakan cermin kita untuk berprilaku. Begitu kita melihat keburukannya, maka pastilah ada nilai lebih yang mereka punyai. Saat saya menemui seorang yang terlihat judes, ternyata dia punya sifat tegas untuk sebuah kebaikan. Atau saat saya melihat orang yang terlihat sangat “menggenggam tanganya” ternyata punya tujuan mulia, yang tidak dikaorkannya.
Begitu pun saat seseorang yang terlihat “tanpa ekspresi” ketika bertemu seseorang, maka biasanya orang menilainya tak punya perhatian. Ternyata apa yang aku dapatkan? Dia ternyata seorang yang sangat berhati-hati dalam bersikap. Hingga terkesan kurang bergairah bila kita berjumpa dengannya. Atau saat saya dekat pada seseorang yang “sombong” pada awalnya, akhirnya dia membocorkan rahasianya. Ternyata dia bingung untuk bersikap pada seorang asing atau orang yang tidak begitu dikenal dekat olehnya, yang menunjukkan PD nya sangat kurang. Ternyata yang tampak tidaklah sama dengan yang sebenarnya.
Maka benarlah apa yang difirmankan oleh Allah Swt. : “Iqro!” Kita diharuskan selalu membaca lingkungan maupun teman-teman kita. Teman adalah tempat kita menimba ilmu, belajar tentang berbagai macam sikap mereka pada orang lain dan bagaimana hasil yang kita rasakan dari sikapnya tersebut. Apakah kita merasakan pertemanan itu membuat kita nyaman atau tidak. Hingga kita bisa berkaca, untuk menilai bagaimana sikap kita selama ini, apakah membuat teman kita merasa senang atau kita telah membuat mereka berduka.
*) Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar