Tesis Samuel P. Huntington menyatakan bahwa dengan tumbangnya Uni Soviet, maka musuh blok Barat kini adalah Islam. Tesis berbahaya ini akhirnya terbukti dalam kenyataan. Bukan kebetulan dan bukan main-main, begitu tesis tersebut digulirkan, Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat (AS) selanjutnya mengadopsinya sebagai salah satu rekomendasi bahwa musuh strategis AS adalah Islam. Rekomendasi tersebut pun segera dijadikan bagian dari paket kebijakan politik luar negeri AS.
Sejak saat itu, dengan sangat mencolok, kebijakan politik luar negeri AS diarahkan untuk menghantam basis-basis kekuatan Islam yang terdapat di Afghanistan (Afghanistan diserang dan dijajah AS dengan dukungan NATO). Untuk memberangus kekuatan Islam di Irak, negara tersebut diserang AS secara keroyokan hingga Saddam Hussein jatuh dan Irak terpecah belah. Di Mesir, komponen-komponen kekuatan Islam dilibas dengan kompensasi 'bantuan ekonomi' (baca: bantuan untuk melemahkan ekonomi Mesir). Ketika kekuatan Islam yang direpresentasikan Hamas memimpin Palestina, Hamas pun dilumpuhkan. Begitu juga nasib yang dialami seluruh kekuatan Islam di seluruh kawasan Timur Tengah, bahkan di Iran dan Pakistan, mereka dijadikan target kriptalisasi.
Selanjutnya, untuk menghadang tumbuhnya kekuatan Islam di negara-negara tersebut, diciptakanlah proyek destabilisasi politik dan keamanan dengan memasang penguasa boneka atau penguasa avonturir yang bersedia diajak bekerja sama dalam menjalankan agenda politik pro-Barat. Di bawah proyek ini, negara-negara Muslim yang berhasil ditundukkan mengalami gangguan politik dan keamanan dengan sarana aksi teror. Aksi teror ini dirancang sedemikian agar penguasa negara bersangkutan berharap dan/atau terus bergantung pada dukungan Barat untuk memelihara keamanan di dalam negeri. Pada sisi lain, skenario ini sengaja direkayasa sedemikian guna memunculkan kesan buruk memojokkan Islam karena pelaku teror tersebut adalah orang Islam. Inilah proyek stigmatisasi terhadap Islam di seluruh dunia, tak kecuali Indonesia.
KASUS DI INDONESIA
Negara tercinta Republik Indonesia pun tak luput dari target untuk diperdayakan. Hal ini terbukti sejak tercium kedekatan Presiden Soeharto dengan kekuatan Islam, maka Soeharto pun terguling di bawah gelombang reformasi yang ternyata buahnya semakin memperburuk kehidupan dalam segala bidang. BJ Habibie yang merupakan representasi kekuatan Islam saat itu pun diturunkan dari kekuasaan. Selanjutnya, kekuasaan negara berangsur beralih ke tangan-tangan yang sangat kurang menyentuh kondisi psikologis umat Islam.
Drama memperdayakan Islam dari hari ke hari tanpa malu-malu dipertontonkan dengan episode tunggal aksi teror di seantero negeri yang terkenal aman dan damai ini serta warganya ramah, tak kenal kekerasan. Sejak saat itu, negara ini kehilangan reputasinya sebagai negara yang aman dan damai berubah menjadi negara yang marak dengan teror di sana-sini. Sungguh naif negara yang terkenal indah permai ini mau saja diubah menjadi negara anarkis dan menakutkan.
Siapa yang tidak tahu ukuran kekuatan teroris itu seperti apa? Untuk melumat kekuatan sekecil itu-yang tak sebanding dengan kekuatan sangat besar sebuah negara-adalah mudah sekali. Pengerahan pasukan secara besar-besaran dengan kekuatan berlebihan dari unsur institusi-institusi antiteror terhadap teroris kelas teri sesungguhnya melampaui batas karena demi nasioanlisme semua aksi teror jadi-jadian yang dipesan sang sutradara itu pun semestinya tidak perlu diikuti.
Semua ini dengan jelas menunjukkan bahwa negara ini tidak punya negarawan. Sejatinya, negarawan malu dan tidak rela bila negaranya dijadikan target destabilisasi dan warganya menjadi teroris. Untuk apa membuat kesan negara tidak aman dengan aksi teror yang hanya menguntungkan sang sutradara? Mengapa harga diri mesti digadaikan? Bukankah masih banyak cara lain yang jauh lebih terhormat untuk mencapai aneka kepentingan? 'Membebek' dan 'membeo' pada sutradara terorisme jelas hanya menghinakan diri sendiri dan bahkan menjauhkan diri dari penghormatan tulus dari segenap warga.
Umat Islam, apalagi yang terpelajar, tidak percaya begitu saja pada retorika yang disampaikan para aparat antiteror. Rakyat negeri ini juga sudah sangat memahami seribu satu keanehan dan kejanggalan dalam setiap aksi teror dan penanggulangannya yang melanggar HAM dan moral. Tidak perlu seribu satu analisis dan argumen untuk mengelabui niat dan tujuan yang sebenarnya di balik aksi teror. Keanehan dan kejanggalan itu saja sudah cukup membuka lebar segala sesuatu di balik aksi teror di negara yang aman dan warganya ramah serta sangat toleran.
Di hari-hari yang akan datang, aksi teror masih akan terus dipertontonkan. Sutradara dan para pemain drama teror itu tega menciptakan citra buruk terhadap Islam dan menganggap umat Islam ini bisa dibodoh-bodohi! Sssstt, dibodoh-bodohi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar