Sabtu, 13 Oktober 2012

Segumpal Daging itu Bernama Hati



R
asulullah SAW bersabda, "Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya akan rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama hati!" (HR. Bukhari dan Muslim)
Segumpal daging yang bernama Hati ini ternyata dapat menentukan baik-buruknya diri kita. Apabila hati kita baik, maka baik pula diri kita. Dan tentu saja sebaliknya, apabila hati kita kotor dan buruk, maka buruk pula diri kita. Hati disini merupakan tempat terjadinya resonansi. Secara sederhana resonansi adalah penularan getaran kepada benda lain. Ibarat gitar  yang mempunyai tabung resonansi dimana lubangnya menghadap ke deretan senarnya. Jika senar tersebut dipetik dan digetarkan, maka udara di dalam ruang akan teresonansi dan ikut bergetar. Sehingga gitar tersebut akan menghasilkan suara yang keras dan merdu. Begitu juga hati  Ibarat tabung gitar tadi, hati kita akan melahirkan resonansi getaran yang berbeda-beda pada saat kita berpikir dan berbuat sesuatu. Semua bergantung pada kualitas getaran dari niat hatinya. Semakin hati kita tulus, Ikhlas dan sabar, maka ia akan mendekati sifat mulia yang Allah inginkan, Getarannya pun akan nampak dalam prilakunya yang cenderung lebih lembut dan halus.
Jika kita memiliki hati yang ikhlas dan penuh kesabaran. Hati kita akan menjadi tentram dan damai. Sebab semakin lembut hati seseorang, maka semakin tinggi pula frekuensinya. Dan semakin tinggi frekuensinya, maka ia akan menghasilkan cahaya. Ketika cahaya ini semakin menguat, maka ia akan merembet keluar dan menggetarkan seluruh bioelektron di dalam tubuhnya. Hasilnya, tubuh kita akan mengeluarkan cahaya atau aura yang jernih. Kita lebih sering menyebutnya sebagai inner beauty. Jika kelembutan itu semakin menguat, maka aura atau inner beauty itu akan merembet semakin jauh mempengaruhi lingkungan bahkan benda-benda di sekelilingnya. Orang-orang disekitar kita pun akan merasakan kenyamanan dan ketentraman tatkala berada disamping kita. 

Berbeda dengan seorang yang pemarah atau temperamental cenderung memiliki emosi yang tak terkendali, pasti akan mengeluarkan getaran kasar dari hawa nafsunya. Jantungnya akan berdetak-detak tidak karuan. Jika dilihat dengan menggunakan alat pengukur getaran jantung ECG (electric cardiograph), akan terlihat bahwa grafik yang dihasilkan sangatlah kasar dengan gejolak yang tidak teratur. Gejolak yang tak terkendali akan meresonansi (menularkan getaran pada benda lain dengan mempengaruhi seluruh bioelektron didalam tubuhnya sehingga menghasilkan panas tubuh dengan ciri-ciri fisik seperti telinga dan mata yang memerah, tubuh yang gemetar serta perkataan yang meledak-ledak tak terkendali. Panas tubuh tersebut merembet ke luar hingga dapat mempengaruhi hawa lingkungan orang-orang disekitarnya. Makanya, jangan heran ketika kita berdekatan dengan orang yang pemarah. Hawa ruangan pun akan berubah menjadi panas dan membuat gelisah, sehingga hati kita pasti akan merasa tidak nyaman. Itulah efek samping tatkala kita terlalu memperturutkan emosi, diri kita akan menjadi kasar dan selalu gelisah, serta membuat semua yang ada disekeliling kita menjadi tidak nyaman.
Kita tinggal memilih, mau menjadi orang yang mudah terbawa emosi atau orang yang memiliki jiwa yang lembut, sabar dan ikhlas? Orang yang jiwanya mudah dipengaruhi emosinya, maka akan tampil sebagai sosok yang hatinya keras, rapuh dan mudah putus asa. Sedangkan orang yang berjiwa lembut, sabar dan ikhlas akan tampil sebagai sosok yang kuat hatinya. Tentu saja, bukan sekedar dalam arti fisik, melainkan kekuatan pribadinya dalam menghadapi gelombang kehidupan ini. Kita bisa melihat bagaimana kekuatan yang terpancar dari jiwa Rasulullah SAW. Kelembutan dan kesucian hatinya selalu terpancar dalam keteladanan yang beliau tampakkan dalam kesehari-hariannya. Keteladanan beliau ini telah mampu “menggetarkan” semua orang pada masanya. Bahkan, hingga kini, “getaran” tersebut mampu menggerakkan satu setengah miliar umat manusia di seluruh penjuru planet bumi ini untuk mengikutinya. Itulah yang disebut dengan kekuatan jiwa.
 Allah SWT telah berfirman: ”Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (Qs. Al-Kahfi [18] : 7)
Setiap manusia pasti memiliki kekuatan jiwa yang berbeda antara satu dengan yang lain. Kekuatan jiwa ini bergantung pada kualitas hati masing-masing. Seseorang boleh jadi dapat melihat dengan menggunakan kedua matanya, mendengar dengan menggunakan kedua telinganya, dan meraba dengan kulitnya. Akan tetapi perlu kita ketahui, bahwa orang yang melihat belum tentu memahami apa yang ia lihat. Orang yang mendengar pun belum tentu memahami apa yang ia dengar. Begitu juga orang yang meraba, belum tentu memahami apa yang dia raba. Semua itu akan terjadi jikalau buta mata hatinya. Orang-orang yang buta mata hatinya adalah mereka  yang tidak mampu melihat kebenaran (al-haq) dan tidak mampu menerima nasehat kebaikan, disebabkan karena gemar mengikuti hawa nafsu dalam diri mereka dan sesungguhnya orang-orang yang hanya mengikuti hawa napsu, tanpa disadarinya dia hanya mendengarkan bisikan setan saja.
Jika kita pelajari Islam secara dalam, sebenarnya kita sudah bisa menyimpulkan, bahwa Allah menginginkan kita melalui ajaran Islam menjadi orang-orang yang hatinya bersih, penuh dengan kesabaran dan keikhlasan. Itulah sebabnya Dia menurunkan perintah puasa kepada umatnya, (Qs. Al-Baqarah [2] : 183, 184, 185, dan 187) semata-mata untuk mendidik kita agar mampu melawan diri sendiri. Karena perang terhebat dalam hidup ini adalah perang melawan diri sendiri, yakni mengalahkan diri sendiri yang di kuasai oleh berbagai nafsu.
Rasulullah Saw bersabda: ”Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa-rupa (wajah) kalian, tidak pula harta kalian, akan tetapi Dia melihat hati dan perbuatan kalian. (HR. Muslim, 2564)
Hati adalah taman yang harus senantiasa dibersihkan dan ditata setiap hari. Karena selain terdapat sumber kebaikan, ketenangan, kedamaian, keindahan dan kebahagiaan. Di hati pula bersumber segala kefasikan. (Qs. As-Syam [91] : 8-10) Jika kita tidak menatanya maka hati pun mudah kotor. Namun jika kita mampu menatanya, Insya Allah disanalah sumber keindahan itu muncul. Kita bisa lihat seorang musisi yang terkenal, yakni Beethoven, ia begitu piawai dalam menciptakan karya musiknya yang spektakuler. Padahal dia adalah seorang yang tuli, tidak mampu mendengar suara ataupun irama musik. Mungkin kita akan bertanya mengapa bisa demikian? Tentu saja, ia menggunakan jiwa dan hatinya di dalam menciptakan serta merasakan seni keindahan irama-irama musiknya.
Maka dari itu, kita dianjurkan dalam setiap shalat yang perlu kita aktifkan adalah hati, sedangkan panca indera kita tutup rapat-rapat. Bukan lagi dengan panca indera ini kita berkomunikasi dengan Allah, melainkan dengan hati. Begitu pula dzikir, sekalipun itu keluar dari mulut kita, tapi letaknya di hati, bukan di mulut. Ikhlas pun letaknya juga di hati, bukan di mulut. Cinta dan benci juga bersarang di dalam hati. Oleh sebab itu, di dalam kehidupan manusia, orang yang selalu bertindak dengan menggunakan hati jernihnya, maka ia tidak akan mudah untuk terbawa emosi dan tidak mudah salah sangka. Karena dalam menghadapi setiap masalah yang membelit kehidupannya, hidupnya selalu dipenuhi oleh cinta, kasih sayang pada orang lain.
Orang-orang seperti ini kehidupannya pasti akan dimudahkan oleh Allah. Hatinya pun selalu tenang, sabar dan ikhlas dalam menghadapi problema hidup.
Rasulullah SAW bersabda: ”Barangsiapa rendah hatinya pada saudaranya sesama muslim, maka Allah akan mengangkat derajatnya dan barangsiapa mengangkat dirinya (sombong), maka Allah akan merendahkannya”. (HR. Thabraniy)
Rendah hati kepada sesama muslim adalah sifat yang terpuji. Karena dengan sifat itu ia pasti akan selalu berbuat baik kepada sesamanya dan selalu menjaga perasaan saudaranya yang seiman. Sikap rendah hati ini tidak akan membuat martabat kita jatuh atau diremehkan oleh orang lain, melainkan sebaliknya, malah akan meninggikan derajat kita dihadapan Allah.
Ada sebuah kisah nyata yang bisa kita ambilkan pelajaran, yang datang dari desa kecil di Kalimantan Barat. Kisah Seorang ibu yang memiliki 3 (tiga) orang anak. Ibu yang penyabar, penuh kasih sayang dan selalu ikhlas  dalam menjalani kehidupannya.
Kelembutan hatinya terlihat dari prilaku dan tutur katanya kepada siapa saja. Ia sangat sederhana, murah senyum serta tidak pernah mengeluh dengan cobaan hidup yang dihadapinya.
Sebagai seorang wanita, ia dikaruniai Allah dengan 3 orang anak. Ketiga anaknya itu dirawat dengan penuh kasih sayang dan sabar hingga mereka dewasa. Begitu juga dalam menjalankan kewajibannya sebagai istri. Ia mampu menjadi penyejuk hati bagi suaminya didalam rumah tangga yang mereka bina. Dan disamping kesibukannya ini ia masih menyempatkan diri untuk mengabdi di salah satu Taman Kanak-kanak (TK) di desanya.
Sungguh, ia jalankan kehidupannya semata-mata untuk bermanfaat bagi orang lain. Namun dalam aktivitasnya sehari-hari, terkadang ibu yang berhati mulia ini mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan sering dianggap remeh oleh orang-orang disekitarnya. Akan tetapi dengan ketabahannya, ketidakadilan ini dibalas dengan sebuah senyuman Ikhlas yang keluar dari bibirnya sebagai tanda, bahwa ia menyadari saat ini Allah sedang menguji kesabarannya.
Akhirnya buah dari kesabarannya, kini ibu itu mulai disegani dan dihormati oleh orang-orang yang berada di desanya.
Kisah ini menunjukkan betapa tingginya derajat orang-orang yang berhati mulia. Sekalipun cobaan menerpanya, namun hatinya tetap sabar dan ikhlas menjalani pelajaran hidup yang Allah berikan kepadanya.  Orang-orang seperti ini tidak pernah membiarkan sedikitpun emosi menguasai dirinya. Sehingga dalam kehidupannya ia selalu tenang dan bisa menyelesaikan setiap persoalan dengan baik.
Mungkin pertanyaan yang muncul saat kita membaca tulisan ini. Ada berapa banyakkah ibu-ibu yang berhati mulia ini disekitar kita? Mampukah kita mencontohi sifat sabar dan ikhlas yang dimiliki ibu ini? Serta mampukah ketiga anaknya itu meniru sifat ibunya, untuk menjadi anak-anak yang selalu sabar dan ikhlas dalam menjalani hidup?
Sungguh luar biasa, tanpa kita sadari ibu itu telah membuka mata hati kita dan mengajarkan kepada kita tentang inti dari ajaran Islam yang sesungguhnya, yaitu sabar dan ikhlas.
Untuk itu ingatlah...! hati manusia bagaikan ruang kaca yang didalamnya terdapat pelita. Manakala  semprongnya atau dinding kacanya kotor, tentu saja semakin sulit baginya untuk menangkap petunjuk ilahi. Marilah senantiasa menjaga kelembutan hati kita, dengan selalu mengingat Allah dalam segala aktifitas sebagai penyuci jiwa. Serta menjauhi segala potensi-potensi yang dapat merusak hati kita. Allah SWT telah berfirman:
"Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungan jawabnya." ( Qs. Al-Isra [19] : 36)


1 komentar: