Minggu, 24 Oktober 2010

Mempertahankan Kemuliaan Manusia

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5)

(1). Bacalah, dengan nama Tuhanmu yang Maha Tinggi, (2). Yang Menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), (3). Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk, (4). Dan yang menumbuhkan rumput-rumputan, (5). Lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitam-hitaman. (Qs. Al-Alaq ayat 1-5)

Pada wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, Allah subhanahu wa ta’ala memperkenalkan diri-Nya dengan sebutan “al-Khaliq” (Pencipta). Sedangkan yang selain Dia disebut “makhluq”, (yang dicipta). Kedua kata, khaliq dan makhluq berakar dari kata kerja kha-la-qa, yang mempunyai dua bentuk masdar (asal kata), yaitu khalqan dan khuluqan. Khalqan bermakna penciptaan yang bersifat fisik, Sedangkan khuluqan adalah penciptaan yang bersifat kejiwaan atau ruhiyah. Kata khuluqan itulah yang kemudian dapat dikembangkan menjadi khuluq atau dalam bentuk jamaknya akhlaq, sebagaimana yang banyak dikenal dalam khazanah Islam.

Manusia dalam bahasa arabnya adalah "insan”, bentuk jama' dari anas atau anis, yang artinya harmonis atau seimbang. Disebut demikian karena manusia yang baik adalah yang mampu menyeimbangkan antara penciptaan fisik dan non-fisiknya. Antara raga dan jiwanya, walaupun sebenarnya jiwa manusia itu tidak klop dengan tuntutan fisiknya.
Penciptaan manusia yang terdiri dari jiwa dan raga merupakan puncak dari sebuah karya Tuhan yang luar biasa. Manusia adalah satu-satunya makhluq misterius yang sampai kapanpun  isterinya tak mungkin dapat disingkap oleh siapapun juga, termasuk oleh ilmuwan dan profesor yang paling genius sekalipun.
Jangankan unsur jiwanya, sedangkan unsur fisiknya saja sudah sulit untuk diungkap secara  tuntas. Sel-sel yang ada pada diri manusia, juga syaraf-syaraf yang berjalin-berkelindan antara satu dengan lainnya dalam jumlah jutaan bahkan milyaran, sungguh rumit dan canggih. Belum lagi mengenai jiwa manusia.
Karena Allah yang menciptakan jiwa dan raga manusia, yang menguasai dan mengaturnya, jelas hanya Dia semata yang tahu persis tentang hakekat manusia yang sebenarnya. Baik fisik maupun psikisnya, kebutuhan maupun martabatnya.

Sesungguhnya ilmu yang diajarkan Allah kepada manusia hanyalah terbatas pada pemberian nama-nama terhadap segala sesuatu yang sudah ada saja, sementara tentang hakekat keberadaan benda itu sendiri adalah urusan ilmu Allah. Itu sebabnya jika manusia ingin mengetahui dimana posisi martabatnya yang sebenarnya, maka tak ada jalan lain kecuali mempelajarinya dari wahyu Allah.
Maha Suci Allah, yang telah menciptakan manusia dengan kondisi yang terbaik, dari keseluruhan hakekatnya. Secara jelas, martabat manusia telah diterangkan dalam Al Qur'an antara lain :

1.       Sebagai Makhluk yang Terbaik
Difirmankan Allah dalam surat at-Tiin ayat 4, "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik kejadian". Harus kita sadari bahwa tak akan pernah ada imajinasi hebat yang bisa menandingi kesempurnaan kejadian manusia. Ada banyak seniman terkenal, yang berusaha merekayasa bentuk makhluk lain selain manusia, katakanlah sebagai makhluk angkasa luar. Sepandai-pandainya mereka berkreasi, pernahkah ada gambaran yang lebih cantik dan gagah dari pada manusia? Contohnya dengan gambaran makhluk dengan mata tiga, telinga runcing, tangan empat, berekor panjang, bermuka dua depan dan belakang, atau berbadan manusia berkaki hewan, bisakah ini menandingi kesempurnaan bentuk manusia?
Sejak dulu, kini dan sampai kapanpun, tak akan pernah ada rekayasa bentuk makhluk lain hasil pikiran manusia yang bisa menandingi kesempurnaan hasil ciptaan Allah yang satu ini.

 2.       Sebagai Makhluk yang Termulia
Difirmankan pula oleh Allah Swt dalam Surat al-Isra' ayat 70, "Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan Bani Adam dan telah Kami beri mereka kendaraan di darat dan di laut, dan telah Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik serta telah Kami lebihkan mereka atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan dengan sebenar-benarnya lebih."
Jelas, kedudukan dan martabat manusia lebih mulia dari makhluk apapun, walau malaikat sekalipun. Bahkan Allah Swt telah memilihnya sebagai khalifah di atas bumi ini. Bukankah itu sebuah penunjukan yang mutlak membuktikan ketinggian derajat manusia?
Malaikat sendiri pernah melakukan protes terhadap pengangkatan jabatan khalifah kepada manusia ini, karena merasa dirinya pun mampu menandingi kehebatan manusia. Dan secara bijaksana Allah telah memberi kesempatan kedua makhluk ini untuk unjuk gigi, memperlihatkan kemampuannya. Ternyata yang keluar sebagai pemenang dalam pertandingan ini adalah manusia.
Dan akhirnya dengan ikhlas malaikatpun menerima keunggulan manusia tersebut, dan bersujudlah mereka —sebagai tanda hormat— kepada Adam. Pembuktian ini diterangkan Allah dalam al-Qur'an, surat al-Baqarah atay 30-34.
Begitu pula dikisahkan dalam al-Qur'an surah al-Ahzab ayat 72, bahwa pernah Allah menawarkan amanah besar kepada langit, bumi dan gunung, namun semua menolak karena merasa tak mampu.Ternyata justru manusialah yang mau menerima amanah tersebut. Dan Allah pun memberikan amanah itu kepada manusia, karena tahu persis bahwa memang manusia memiliki kemampuan untuk memikulnya. Allah tahu persis, bahwa manusia memiliki kemampuan yang lebih dari pada gunung yang tinggi besar menjulang, yang gejolak dan api panasnya bahkan mampu menghancur leburkan ratusan kilometer lokasi di sekitarnya.
Sungguh manusia banyak diuntungkan dengan peristiwa itu, karena bekas-bekas kehancuran gunung berapi tersebut bahkan sangat bermanfaat bagi manusia, karena bermanfaat menjadi lahan yang amat subur. Ketinggian dan kekokohan gunung pun bisa dikalahkan manusia hanya dengan ledakan bom, sehingga manusia bisa menembus dan membuat jalur kereta api melintasi gunung, bisa memanfaatkannya pula sebagai tempat wisata yang indah, dan mampu meghindarkan dirinya dari bencana gunung berapi akibat kecanggihan peralatan yang berhasil dirakit otak manusia.
Begitupun dengan bumi, yang besarnya tak terkira dibanding seorang manusia dengan otaknya yang teramat kecil, pun bisa kalah karena kepandaian si otak yang mampu menembus bumi, menghisap dan mengambil benda-benda berharga yang tertanam berkilometer di dalam bumi sudah bisa dilakukan manusia dengan mudah. Dengan memanfaatkan bagian atas bumi pun manusia bisa bertahan hidup hingga berpuluh-puluh tahun. Bukankah itu semua sudah cukup membuktikan ketingian martabat manusia dibanding ciptaan apapun selainnya?
Masalahnya kemudian, mampukah manusia menjaga amanah kemuliaan ini? Ataukah harus kembali terjerumus ke lembah alam yang serendah-rendahnya, ke tingkat kehinaan dimana tidak ada bedanya lagi manusia dengan hewan, atau bahkan lebih hina dari hewan? Oleh karenanya bagaimanakah manusia harus bersikap sehubungan dalam mengemban kemuliaan ini?

KEMULIAAN MANUSIA

Manusia adalah makhluk paling mulia yang diciptakan Allah subhanahu wa ta’ala di muka bumi. Kemuliaannya mengalahkan semua jenis makhluk termasuk malaikat. Sehingga ketika para malaikat diperintahkan untuk bersujud sebagai tanda hormat kepada Adam, mereka segera melaksanakan perintah Allah tanpa bertanya lagi.

فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ
”Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Ku-tiupkan kepadanya Roh (ciptaan) Ku, maka hendaklah kamu tersengkur dengan bersujud kepadanya.”  (Qs. Shaad ayat 72)

Kemuliaan manusia tak hanya dapat dilihat dari segi fisiknya saja, melainkan non fisik juga. Dimana Allah meniupkan Ruh[1] kepada manusia sehingga memiliki pendengaran, penglihatan dan hati (akal pikiran),

وَقَالُوا أَئِذَا ضَلَلْنَا فِي الْأَرْضِ أَئِنَّا لَفِي خَلْقٍ جَدِيدٍ بَلْ هُمْ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ كَافِرُونَ

”Kemudian Dia menyempurnakan dengan meniupkan kedalamnya roh (ciptaan) Nya. Dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati (akal pikiran).” (Qs. As-Sajadah ayat 9)

Dengan akalnya manusia bisa mengetahui mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah. Dengan akal ini pula Adam mampu belajar dan menyebutkan segala jenis benda yang diciptakan oleh Allah.

وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَؤُلاء إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malikat, lalu berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika engkau memang orang-orang yang benar." (Qs. Al Baqarah : 31)

Tak salah kiranya jika Allah menjadikan manusia sebagai khalifah untuk mengelola bumi. Di bumi, manusia boleh memilih berbagai keperluan untuk kelangsungan hidupnya. Makanan, pakaian, tempat tinggal dan berbagai macam asesoris boleh ia pilih untuk menghiasi kehidupannya.

Hal ini berbeda dengan makhluk yang namanya binatang atau tumbuhan yang hanya diberikan al hayah[2] (nyawa). Binatang memang tak memiliki akal sehingga berkelana kemana saja tanpa pakaian pun tak ada yang risih melihatnya. Demikian pula dengan tempat tinggalnya yang tak menentu. Bisa berpindah-pindah, tergantung keadaan lingkungan sekitarnya. Kalau ada binatang yang memakai pakaian layaknya manusia, berarti itu binatang sirkus yang sengaja dijadikan tontonan bagi manusia.

MANUSIA BERBEDA DENGAN MAKHLUK LAIN

Allah Subhanahu wa ta’ala, berfirman:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
”Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak Adam, kami angkut mereka didaratan dan di lautan, Kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami berikan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk, yang telah kami ciptakan”. (Qs. Al-Israa’ ayat 70)

Berdasarkan ayat ini, ada hal-hal spesifik yang hanya dipunyai manusia dan tidak dipunyai binatang atau makhluk lain. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab ‘Idhdhatun Nasyi’in, bahwa ciri-ciri spesifik manusia itu antara lain:

1.      husn al-shurah (keelokan rupa). Manusia itu diciptakan dengan seelok-elok rupa dan sebaik-baik bentuk (ahsan taqwim), tak seperti binatang. Karenanya, manusia bisa berpenampilan necis dan selalu ingin tampil menarik. Ini berbeda dengan binatang yang cenderung sebaliknya.

2.      al-mazaj al-a’dal (keistimewaan keseimbangan). Dalam hidupnya, manusia senantiasa mementingkan keseimbangan. Tidak berat sebelah.

3.       i’tidal al-qamah (keseimbangan postur). Manusia itu tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Ini beda dengan binatang semisal Jerapah, gajah, katak, dan lainnya.

4.       al-‘aql (akal). Ini inti pokok pembeda antara manusia dengan binatang. Menurut Mang Ubang, dengan perangkat akal ini, manusia bisa memahami bahasa (al-ifham bi al-nuthq). Karenanya, para filosof menyatakan, al-insan hayawan al-nathiq (manusia adalah hewan yang dapat bercakap).

SIKAP MANUSIA DALAM MEMPERTAHANKAN KEMULIAAANYA
Sejatinya manusia, sejak kali pertama dilahirkan, telah dimuliakan dan dilebihkan Allah dari makhluk-makhluk yang lain. Namun dalam proses kehidupan selanjutnya, tidak semua manusia dapat mempertahankan kemuliaan itu. Hanya sedikit yang tetap dan dapat melestarikan kemuliaan tersebut. Kebanyakan jatuh ke lembah kenistaan dan kehinaan. Hal ini terjadi karena mereka tidak mengetahui apakah sesungguhnya kemuliaan itu, bagaimana cara meraihnya, dan bagaimana melestarikannya?. 
Perlu kita ketahui bahwa kemuliaan manusia akan tetap melekat pada dirinya manakala ia mampu menempatkan diri dengan sebaik-baiknya. Berlandaskan agama dan ketaqwaannya kepada Allah, kemuliaan manusia tak akan berkurang, meskipun di dunia ia tak memiliki apa-apa. Kekayaan, kedudukan, uang, jabatan ataupun gengsi tak akan mempengaruhi kemuliaan manusia, selama ia tetap berpegang teguh pada norma-norma agama.
Di antara manusia ada yang merasa bahwa dirinya menjadi mulia, bila berhasil mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Ada yang merasa mulia kalau berhasil memiliki ilmu yang tinggi. Ada pula yang menganggap dirinya akan menjadi mulia jika berhasil menduduki jabatan dan meraih kekuasaan yang tinggi. Ada pula seorang merasa mulia karena dilahirkan dari keturunan kaum bangsawan, anak dari suku tertentu, atau berasal dari bangsa tertentu. Disinyalir pula dalam al-Quran bahwa ada manusia yang ketika diuji Allah dengan harta benda yang melimpah ruah, lantas dia berkata bahwa Allah telah memuliakannya, tapi ketika harta itu dicabut atau dikurangi, lantas berkata bahwa Allah telah menghinakannya (Q.S. al-Fajr/89: 15-16). Berbagai usaha diupayakan manusia untuk menjadi mulia, padahal sesungguhnya kemuliaan itu tidak diukur dari tingkat kekayaan, keilmuan, atau kekuasaan seseorang. Kemuliaan (karâmah) dalam pandangan Islam adalah ketaqwaan. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian (akramakum) di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kalian (atqâkum). Q.S. al-Hujurât/49: 13.
Kemuliaan itu mempunyai dua ciri utama, yaitu iman dan amal shalih, dua sisi keteguhan yang tidak boleh dipisahkan, antara keteguhan batin dan keteguhan lahir. Keimanan merupakan keteguhan batin dalam menjaga prinsip-prinsip ilahiah yang terus menerus dipertahankan.
Namun keteguhan batin itu hanya memiliki makna sepotong bila tidak diikuti dengan keteguhan lahir yang berupa amal shalih, baik berupa keshalihan pribadi maupun keshalihan sosial. Kemuliaan hanya dapat diraih bila dua sisi itu disatukan secara seimbang. Ketimpangan yang terjadi antara kedua sisi itu menyebabkan berkurangnya tingkat kemuliaan, yang pada gilirannya bisa jadi menipis dan habis.
Oleh karena itu al-Quran menegaskan bahwa orang-orang yang merasa mulia itu, merasa mulia karena harta berlimpah, karena ilmu yang tinggi, atau karena kekuasan yang hebat, sesungguhnya tidaklah mulia. Mereka tidak mulia karena merendahkan nilai kesalihan, seperti (1) mengabaikan anak yatim, (2) menelantarkan fakir miskin, (3) mencampuradukkan antara yang halal dan yang haram, dan (4) cinta harta secara berlebihan (Q.S. al-Fajr/89: 17-20). 
Manusia yang terlahir secara mulia tidak semua menjadi mulia. Godaan-godaan nafsu membawa seseorang kepada kehinaan, yang seringkali dikemas dengan indah dan menggiurkan. Betapa banyak seseorang yang ketika miskin mampu mempertahankan kemuliaannya, namun ketika berkecukupan harta, terpuruk dan hina. Ketika masih bodoh, belum banyak ilmu, dengan keluguannya, mentaati aturan-aturan dan pada tarap tertentu menjadi mulia, tapi semakin pandai, semakin banyak aturan yang diakali, hingga menjatuhkan dirinya ke lembah hina. Ketika tidak mempunyai kekuasaan yang dapat dibanggakan, dia menjalani hidup secara wajar, namun semakin tinggi kekuasaan yang diraih, kesombongan dan keangkuhan yang menjadi penampilannya.
Dapat kita bayangkan manakala manusia berlaku seperti binatang. Serakah, mau menang sendiri, membunuh seenaknya, memperkosa, mengambil yang bukan haknya, hingga perilaku yang dapat dikategorikan sebagai perilaku binatang seperti telanjang di depan umum dan disaksikan oleh orang banyak. Sering yang semacam ini dijumpai dalam kehidupan kita dan sudah menjadi hal yang biasa.
Karena itulah, agama yang dilandasi dengan keimanan dan taqwa akan dapat menjaga nilai kemanusiaan yang kita miliki. Semakin dekat diri kita dengan Tuhan, maka kita pun akan semakin punya nilai. Sebaliknya jika kita sudah jauh dari agama dan melupakan Tuhan, bisa jadi wujud kita adalah manusia namun nilai kita sebagai manusia sudah semakin menipis, pupus bahkan hilang sama sekali.
Ketahuilah, Kemuliaan manusia bukan dari apa yang dimiliki di dunia namun dari apa yang diperbuatnya bagi kehidupan di dunia maupun di akhirat sebagaimana yang disebut dalam Al Qur’an :

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ  ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ  إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia ke dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan ia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang yang beriman dan mengerjakan  amal shaleh maka bagi mereka pahala yang tiada putus.” (QS. At Tiin  ayat  4-6)





[1] Ruh yang ditiupkan kepada manusia itu disebut Ruhul Tamayiz atau Ruhul Amri, dan apabila ia digunakan berfikir maka  disebut akal, apabila berkehendak disebut nafsu, dan apabila merasa disebut hati nurani. Inilah hakikat manusia yang tidak ada pada binatang dan tumbuhan. Ruh inilah kemudian yang akan di mintai pertanggung jawaban oleh Allah di  yaumil hisab kelak.
[2] Al-hayah atau Ruhul hayah adalah penyebab dari kehidupan atau biasa disebut dengan nyawa. Ini  ada pada semua makhluk hidup, binatang, tumbuhan, jin dan termasuk manusia. Hanya saja ini berbeda dengan ruhul tamayiz yang dapat digunakan untuk berfikir.
Link terkait:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar