Minggu, 24 Oktober 2010

Tujuan Penciptaan Manusia


Manusia menurut Nurcholish Madjid memang merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang mengagumkan dan penuh misteri. Dia tersusun dari perpaduan dua unsur; segenggam tanah bumi, dan ruh Allah, maka siapa yang hanya mengenal aspek tanahnya dan melalaikan aspek tiupan ruh Allah, maka dia tidak akan mengenal lebih jauh hakikat manusia. Al-Qur'an sendiri juga menyatakan bahwa manusia memang merupakan makhluk paling sempurna yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Ada banyak sekali kelebihan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk-makhluk-Nya yang lain. Ada beberapa “perangkat” yang diberikan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada manusia yang menjadikannya unggul dan terdepan dari para makhluk lainnya seperti; memiliki daya tubuh yang membuat fisiknya kuat; daya hidup yang membuatnya mampu mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan serta mempertahankan diri menghadapi tantangan; daya akal yang membuatnya memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi; daya kalbu yang memungkinkannya bermoral, merasakan keindahan, kelezatan iman, dan kehadiran Allah. 

Oleh karena itu, manusia perlu menyadari eksistensi dan tujuan penciptaan dirinya, memahami risalah hidupnya selaku pengemban amanah Allah, melalui arahan dan bimbingan yang berkesinambungan agar kehidupannya menjadi lebih berarti. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya segala sesuatu diciptakan dengan adanya satu tujuan. Dengan tujuan itulah kemudian sesuatu difungsikan dan dengan adanya fungsi itulah maka keberadaan sesuatu menjadi berarti. Demikian juga adanya manusia di bumi ini. Ia pasti diciptakan untuk satu tujuan tertentu. 

Tulisan ini mencoba untuk membahas tujuan penciptaan manusia sebagaimana yang ada di dalam penghambaan dirinya kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. Dalam pembahasan ini penulis menfokuskan pada dua ayat yang secara eksplisit menunjukkan tujuan Allah Subhanahu wa ta’ala  dalam penciptaan manusia yaitu dalam surah al-Dzaariyaat ayat 56 dan al-Baqarah ayat: 30. Pembahasan dalam tulisan ini lebih bercorak pada penafsiran tematis ilmiah karena penulis juga mencoba menghubungkan bahasan dalam makalah ini dengan penemuan ilmiah terkini.

1. Manusia sebagai Hamba Allah (Abd Allah)

Ayat pertama yang menjelaskan tentang tujuan penciptaan manusia adalah firman Allah swt :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.( al-Dzaariyaat: 56)

Ayat ini mengindikasikan tentang tujuan penciptaan manusia sebagai hamba Allah. Indikasi ini dapat dipahami dari klausa kata “ ليعبدون ” yang berarti “agar mereka mengabdi kepada-Ku”. Klausa tersebut berasal dari kata “ يعبدون ” yang mengandung subyek, kata kerja dan obyek. Kontraksi terjadi karena kata kerja tersebut didahului oleh partikel ل yang berfungsi sebagai penghubung dan bermakna “tujuan dan kegunaan”. Dalam ayat ini juga digunakan kata ما dan إلا yang merupakan salah satu bentuk hasr (pembatasan). Hal ini memberikan pengertian bahwa tujuan penciptaan manusia hanyalah untuk mengabdi kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan bukan untuk yang lainnya. Karena itulah dapat kita lihat bahwa dakwah Rasulullah shalallahu ’alaihi wassalam di era Mekkah adalah mengajak masyarakat kepada tujuan utama penciptaan mereka yaitu mengabdi kepada Allah dengan sebenarnya.

Namun hal ini bukan berarti bahwa Allah Subhanahu wa ta'ala butuh untuk disembah. Sebab hal itu mustahil bagi Allah Subhanahu wa ta’ala. Namun suatu perbuatan yang tidak memiliki suatu tujuan adalah perbuatan sia-sia yang harus dihindari. Dengan demikian harus dipahami bahwa ada tujuan bagi Allah Subhanahu wa ta’ala dalam perbuatannya, tapi dalam dirinya bukan di luar dirinya. Ibadah adalah tujuan penciptaan manusia dan kesempurnaan yang kembali kepada penciptaan. Allah Subhanahu wa ta’ala  menciptakan manusia untuk memberinya ganjaran. Yang memperoleh ganjaran adalah manusia sedang Allah tidak membutuhkannya. Adapun tujuan Allah, maka itu berkaitan dengan Zat-Nya yang Maha Tinggi. Dia menciptakan jin dan manusia karena Dia adalah Zat yang Maha Agung.

Istilah ”hamba” dalam bahasa Arab adalah ‘abd yang berasal dari kata kerja عَبَدَ yang berakar kata dengan huruf-huruf ب ع dan د  Struktur ini bermakna pokok ”kelemahan dan kehinaan” dan ”kekerasan dan kekasaran”. Dari makna pertama diperoleh kata ‘abd yang bermakna mamlūk (yang dimiliki) dan mempunyai bentuk jamak ‘abīd dan ‘ibad. Bentuk pertama menunjukkan makna ”budak-budak” dan yang kedua untuk makna ”hamba-hamba Tuhan”. Dari makna terakhir inilah bersumber kata ‘abada-ya’budu-‘ibādatan yang secara leksikal bermakna ”tunduk merendahkan dan menghinakan diri kepada dan di hadapan Allah”.

Dari kata ‘abada tersebut, Ibn Manzūr menyebut ungkapan ‘ubūdīyah (penghambaan diri) adalah al-khudū’ (ketaatan) dan al-tadhallul (kerendahan hati). Sementara al-Rāghib, walaupun membedakan antara ‘ubūdīyah dengan ‘ibādah, namun perbedaan tersebut hanya pada tingkatnya, bukan dasar pengertiannya. Menurutnya, ‘ubudiyah adalah penampakan kerendahan, sedangkan ‘ibadah lebih dalam artinya dari ‘ubūdīyah ini, sebab ‘ibadah adalah puncak kerendahan, tidak wajar kecuali hanya kepada siapa yang memiliki puncak anugerah (kepada seseorang), yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala.

Meskipun secara etimologi tidak begitu diperselisihkan tentang kata ‘abd dengan ’ibādah dalam bahasa agama, yaitu bahwa keduanya mengandung arti kerendahan yang mengakibatkan ketundukan dan ketaatan, namun mengartikannya semata-mata dengan ”tunduk, taat, dan kerendahan diri”, belum menggambarkan arti yang sebenarnya dari kata-kata tersebut.

Kalau begitu, kenapa dalam kenyataan banyak manusia yang tidak beribadah kepada-Nya?. Quraish Shihab, menyatakan bahwa yang dimaksud ”tidak diciptakan mereka kecuali beribadah” sebagaimana termaktup dalam surah al-Dzaariyaat ayat 56, adalah menciptakan mereka dengan memiliki potensi untuk beribadah yaitu menganugerahkan mereka kebebasan memilih, akal dan kemampuan. Artinya manusia diciptakan dengan mempunyai potensi untuk beribadah kepada Allah dan oleh karena itu ia diberi tanggung jawab untuk beribadah. Namun manusia tetap diberi kebebasan memilih. Semuanya ini merupakan kerangka ujian bagi manusia untuk mengetahui siapa yang terbaik amalnya.

Pada sisi lain, ungkapan yang dipergunakan adalah klausa verbal yang berkonotasi aktivitas. Ini berarti ayat tersebut berkenaan dengan perbuatan manusia, bukan dengan sifat kodratinya. Hal ini sejalan pula dengan ayat-ayat yang memang memerintahkan manusia agar beribadat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Manusia, sebagai ‘abd Allāh, disetarakan dengan konteks makna kata tersebut yang di antaranya adalah ”ibadah” sebagai pernyataan kerendahan diri. Ibadah kepada Allah merupakan sikap dan pernyataan kerendahan hati yang tertinggi dan sempurna dari seorang hamba. Dalam pandangan Ja’far al-Sadiq, yang dikutip oleh Jalaluddin, dinyatakan bahwa pengabdian kepada-Nya baru dapat terwujud jika memenuhi tiga kriteria;  pertama, menyadari sepenuhnya bahwa apa yang dimilikinya, termasuk dirinya sendiri, adalah milik Allah dan berada di bawah kekuasaan-Nya; kedua, menjadikan segala bentuk sikap dan aktivitasnya senantiasa mengarah kepada usaha untuk memenuhi perintah Allah dan menjauhi segala bentuk perbuatan yang dilarang-Nya; ketiga, mengambil keputusan senantiasa mengaitkannya dengan rida Allah, tempat dia menghambakan diri.

Dari pendapat al-Sādiq di atas, ada dua konsep dasar yang terangkum dalam ‘abd Allah tersebut, yaitu kepemilikan dan pengabdian. Berangkat dari dua konsep ini, maka manusia sebagai hamba Allah harus menyadari bahwa kepemilikan mutlak atas dirinya berada pada Allah. Atas dasar status kepemilikan mutlak tersebut, maka sebagai hamba Allah, manusia ditetapkan untuk mengemban tanggung jawab pengabdian Pemiliknya yang memang merupakan hak Allah atas hamba-Nya.

Dalam hal ini, pengabdian yang dilaksanakan oleh manusia selaku hamba Allah, ternyata tidak terbatas pada pernyataan verbal (ucapan-ucapan) ataupun lakon ritual (perilaku) saja. Lebih dari itu, masih ada aspek batin yang menjadi landasan dari segalanya, yaitu ”keikhlasan” yang tumbuh dari hati nurani atas dasar kesadaran diri, tidak ada paksaan, tetapi karena kebutuhan. Oleh karena itu, keikhlasan yang sebenarnya baru akan tercapai, jika dalam diri sudah tumbuh kesadaran bahwa pengabdian kepada Allah sudah didorong oleh kebutuhan untuk itu.

Kemudian bagaimana sebenarnya kriteria seorang hamba Allah yang sebenarnya? Kriteria ini dapat kita lihat salah satunya pada surah al Furqan 63-76.

Allah Subhanahu wa ta’ala, berfirman:

وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا (63) وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا (64) وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا (65) إِنَّهَا سَاءَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا (66) وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا (67) وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا (68) يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا (69) إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (70) وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا (71) وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا (72) وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآَيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا (73) وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا (74) ولَئِكَ يُجْزَوْنَ الْغُرْفَةَ بِمَا صَبَرُوا وَيُلَقَّوْنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَامًا (75) خَالِدِينَ فِيهَا حَسُنَتْ مُسْتَقَرًّا وَمُقَامًا (76 

63. Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.
64. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka
65. Dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, jauhkan azab Jahannam dari Kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaan yang kekal".
66. Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman.
67. Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
68. Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya),
69. (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan terhina,
70. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
71. Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, Maka Sesungguhnya Dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.
72. Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.
73. Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat- ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang- orang yang tuli dan buta.
74. Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
75. Mereka Itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang Tinggi (dalam syurga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan Ucapan selamat di dalamnya,
76. Mereka kekal di dalamnya. syurga itu Sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman.

Dari ciri-ciri yang digambarkan di atas dapat diketahui bahwa sifat seorang hamba Allah ternyata bukan hanya rajin sujud dan ruku’ kepada-Nya (al-akhlāq ma’a Allāh) akan tetapi juga punya keperdulian terhadap pengembangan potensi dirinya (al-akhālq ma’a al-nafs) dan juga keperdulian sosial terhadap sesama manusia (al-akhlāq ma’a al-ghayr).

Dari surat al Dzaariyaat ayat 56 di atas, nampak dengan jelas bahwa adanya satu konsep lain yang berkaitan dengan tujuan penciptaan manusia yaitu konsep tentang design penciptaan manusia. Secara tersirat, dari ayat di atas dapat dipahami bahwa manusia didesign atau dirancang sebagai makhluk yang mengabdi atau beribadah kepada Allah. Karena manusia dirancang untuk beribadah kepada Allah maka tentu saja eksistensi atau keberadaan manusia akan tergantung kepada seberapa jauh dia dapat menyesuaikan diri dengan rancangan awal penciptaannya ini.

Sebagai perbandingan, kita dapat melihat pada barang-barang ciptaan manusia. Setiap benda hasil karya manusia biasanya dirancang dengan satu design tertentu. Design atau rancangan ini biasanya mencakup tentang tujuan dan aturan yang harus dijalankan terhadap benda tersebut. Sesuatu akan bisa bejalan dengan baik bahkan mungkin akan bertahan dalam jangka waktu lebih lama jika ia difungsikan sesuai dengan rancangan dan aturan yang telah ditetapkan pembuatnya. Sebaliknya ia tidak akan bertahan lama jika ia difungsikan tidak sesuai dengan rancangan atau design yang telah dirumuskan oleh pembuatnya. Misalkan saja sepeda motor biasa akan terasa enak dan optimal jika dipakai di jalan yang rata dan beraspal sesuai dengan kecepatan optimal yang dimilikinya, namun ia akan cepat hancur jika digunakan di luar garis rancangannya, misalnya digunakan di jalan yang berbatu, di perbukitan apalagi dengan kecepatan yang lebih dari rancangannya. Sebaliknya sepeda motor gunung akan tetap baik dan optimal walaupun digunakan di jalan yang berbatu, di perbukitan, karena memang itulah rancangan penciptaan baginya. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah juga bisa diibaratkan seperti benda buatan manusia dalam perbandingan di atas. Ia akan bisa optimal dan bertahan lama jika bisa mengikuti design penciptaan dirinya dan sebaliknya ia akan cepat hancur dan tidak bisa bertahan lama jika ia tidak bisa menyesuaikan diri dengan rancangan penciptaan dirinya. Jika kita mengacu pada teori fungsional yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya, maka dapat dinyatakan bahwa manusia yang bisa menjalankan fungsinya dengan baik akan bisa mencapai optimalisasi kemampuan dirinya. Sebaliknya manusia yang tidak bisa menjalankan fungsinya peribadatan dengan baik maka ia tidak akan bisa mencapai optimalisasi kemampuan dirinya yang pada klimaksnya akan berujung pada kerusakan pada dirinya.

Ilmu pengetahuan pada masa sekarang, dalam pengamatan penulis semakin menunjukkan kebenaran asumsi ini. Ibadah sebagai design awal penciptaan manusia ternyata dapat mengoptimalkan segenap kemampuan manusia jika dilakukan dengan baik dan benar. Dalam hal penulis mengambil contoh dari ibadah-ibadah mahdah seperti sholat, zakat, puasa dan ibadah haji. Setiap gerakan sholat, misalnya, dalam penelitian ternyata mempunyai manfaat terhadap kesehatan fisik manusia, yang artinya orang yang melaksanakan ibadah sholat dengan baik dan benar akan dapat mengoptimalkan kesehatan fisik dan tentunya juga kesehatan psikisnya. Demikian juga dengan puasa, ia memberikan efek kesehatan yang begitu besar kepada pelakunya. Agus Mustofa menyatakan bahwa puasa dapat diibaratkan dengan servis rutin pada peralatan mesin. Adanya servis rutin yang mungkin dilakukan setiap bulan pada dasarnya bukan merupakan beban, melainkan suatu kebutuhan dalam rangka menjaga agar mesin tetap optimal dan bisa bertahan lama. Demikian juga halnya dengan zakat dan ibadah haji. Hal ini menunjukkan hakekat sebenarnya dari ibadah yang merupakan kebutuhan manusia, karena memang manusia diciptakan untuk tujuan tersebut.

Namun hal ini bukan berarti bahwa manusia boleh mengabaikan hal-hal lain di luar ibadah mahdah yang berkaitan dengan optimalisasi dirinya seperti, makan, minum, gerak dan lain-lain. Manusia tetap harus mengikuti fitrah yang ada pada dirinya sesuai dengan sunnah yang telah ditetapkan oleh Allah, sebagaimana yang menjadi salah satu sifat dari “ibad al-Rahman” di atas. Al-Shātibā sendiri sudah menjelaskan bahwa tujuan penetapan syari’at pada dasarnya adalah untuk memenuhi kepentingan manusia yang meliputi kebutuhan primer (darūriūyat), kebutuhan sekunder (hājiyat) dan kebutuhan tersier (tahsīnīyat).
Manusia Sebagai Wakil Allah (Khalifah Allah)

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Qs. Al-Baqarah : 30)

Di dalam ayat ini tergambar tujuan penciptaan manusia untuk menjadikannya sebagai seorang khalifah di muka bumi. Indikasi ini dapat dilihat dari kata ja’il. Para Mufassir banyak yang menfasirkan kata ja’ala dalam ayat di atas dengan khalaqa. Salah satu faktornya adalah adanya kesamaan tema dengan al Qur‟an surat al Hijr: 28,

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ

"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. (Qs. al-Hijr :  28)

Kedua ayat ini membicarakan tema yang sama yaitu tentang firman Allah swt kepada para malaikat mengenai adanya makhluk baru yang akan diciptakan oleh Allah, sehingga keduanya saling menjelaskan makna. Walaupun demikian, sesungguhnya terdapat perbedaan makna di antara kedua kata di atas. Kata khalaqa yang bermakna menciptakan mengandung makna dasar “pemberian bentuk fisik dan psikis” sedangkan kata ja’ala mempunyai makna di antaranya adalah “menetapkan suatu kedudukan bagi sesuatu yang lain” yang artinya manusia ditetapkan oleh Allah sebagai khalifah sebagai satu aspek fungsional manusia.

Kata khalīfah dalam bentuk tunggal terulang di dalam al Qur’an sebanyak dua kali yaitu dalam surat al Baqarah ayat  30 dan Shaad ayat 26. Sedangkan bentuk jamak dari khalifah ada dua yaitu khalaif  dan khulafa’. Keseluruhan kata tersebut berakar dari kata khalafa yang pada mulanya berarti “di belakang”. Dari sini kemudian kata “khalifah” sering diartikan sebagai “pengganti”, karena yang menggantikan selalu berada atau datang di belakang, sesudah yang digantikan. Al Rāghib al-Asfahāni menyatakan bahwa menggantikan yang lain berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan baik bersama yang digantikan maupun bersama-sama. Lebih jauh al Asfahani juga menyatakan bahwa kekhalifahan itu dapat terlaksana karena beberapa hal yaitu akibat ketiadaan di tempat, kematian, atau ketidakmampuan orang yang digantikan dan dapat juga akibat penghormatan yang diberikan kepada yang menggantikan. Dalam hubungannya dengan manusia, kekhalifahan lebih tepat dikarenakan keutamaan yang diberikan oleh Allah kepada manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain.

Aspek fungsional dari manusia sebagai khalifah ini kemudian menuntut suatu tanggung jawab. Tanggung jawab ini dapat kita lihat misalnya dalam firman Allah: dalam al Qur‟an surat Shaad : 26

يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

"Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan." (Qs. Shaad : 26)

Ayat di atas menjelaskan tentang tanggung jawab seorang khalifah untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi dengan baik dan benar serta larangan untuk memperturutkan hawa nafsu yang akan menyebabkan penyimpangan dari jalan Allah. Hal ini memang merupakan konsekuensi dari makna khalifah yang memang seharusnya mencerminkan sifat-sifat yang diwakilinya.

Peran kekhalifahan manusia dimuka bumi inilah, merupakan amanah yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kepadanya sebagaimana firman Allah :

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.” (Qs. Al-Ahzab : 72)

Menurut Quraish Shihab, manusia yang tidak bisa menjalankan amanah ini padahal dia sudah dilengkapi dengan berbagai potensi dan keistimewaan sebagai bekal untuk menjadi khalifah adalah orang yang zalim dan bodoh sebagaimana yang digambarkan oleh Allah Subhanahu wa ta'ala dalam ayat di atas.

2. Manusia Sebagai ‘Abd Allah dan Khalifah Allah

Keberadaan manusia sebagai ‘abd Allāh pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari kedudukannya sebagai khalifah Allāh. Esensi manusia sebagai ‘abd Allāh tidak menafikan kendudukannya sebagai khalifah Allah. Demikian juga peran manusia sebagai khalifah Allah juga tidak boleh kaitannya dengan posisinya sebagai ‘abd Allāh, karena kedua-duanya merupakan sesuatu yang inheren pada diri manusia, yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Keduanya bisa diibaratkan sebagai dwi fungsi manusia keberadaan manusia di muka bumi ini.

Kedudukan manusia sebagai ‘abd Allah pada dasarnya lebih merupakan realisasi dari habl min Allāh, ibadah individual, menjalin hubungan vertikal dengan Allah sedangkan perannya sebagai Khalifah Allah lebih merupakan pengejawantahan dari habl min al-nās, ibadah sosial, menjalin hubungan horizontal dengan sesama manusia 55 dan juga habl min al-‘ā lam menjalin hubungan yang baik dengan segenap makhluk Allah yang lainnya termasuk hewan, tumbuh-tumbuhan dan memakmurkan alam semesta ini. Namun secara esensial keduanya adalah tugas dan fungsi kehidupan manusia yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain.

Kedudukan manusia sebagai ‘abd Allah merupakan fungsi penguatan potensi diri dengan terus menggantungkan diri ( إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ) kepada pemberi potensi tersebut yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala, Sang Khalik. Sedangkan kedudukan manusia sebagai khalifah Allah merupakan fungsi aplikatif yaitu upaya menggunakan potensi diri dalam kerangka rahmatan li al-‘ālamīn, untuk memberdayakan potensi sesama manusia dan juga segenap potensi alam ke arah yang diridhai oleh Allah. Pertanggung-jawaban manusia di hadapan Allah juga akan menyangkut pelaksanaan kedua fungsi tersebut. Dan inilah makna peribadatan seorang hamba (‘abd Allah) kepada Tuhan-Nya.

Kesimpulannya:
Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah untuk mengabdi kepada-Nya. Pengabdian ini diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual individual, menjalin hubungan dengan Allah, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ’alaihi wassalam dan juga dalam bentuk ibadah aktual-sosial dengan menata hubungan yang baik dengan sesama manusia dan makhluk-Nya yang lain serta memakmurkan bumi ini dalam rangka mewujudkan misi rahmatan li al-‘ālamīn sebagai bagian dari tanggung jawab sebagai khalifah Allah di muka bumi.

1 komentar:

  1. Assalamualaikum ka Rio atau forum konsultasi muslim saya sngat menyukai semua post2 anda dan membuat bertambahnya keyakinan saya untuk selalu beribadah kepada_NYA karna memang apa yang anda post itu benar-benar berdasarkan dasar hukum yg bgtu benar...! saya ucapkan terimakasih dan semoga apa yg anda buat ini menjadi salah satu sy'iar islam yg bermanfaat bgi seluruh umat islam/muslim muslimah amieeeen keberkahan selalu bersama kalian........!

    BalasHapus