Sabtu, 09 Oktober 2010

Mengapa Aku Harus Berbakti Pada Orang Tua?

Suatu hari di sebuah madrasah, seorang guru bertanya kepada murid-muridnya tentang alasan mengapa setiap manusia wajib menghormati dan berbuat baik kepada orangtuanya. Tak lama berselang, salah satu murid dengan sigap mengangkat tangan kemudian menjawab pertanyaan tersebut dengan lantang, “Saya bu, karena mereka telah melahirkan dan membesarkan kita!”.

Ibu gurupun tanpa ragu membenarkan jawaban tersebut lalu mengajak yang lainnya untuk mengulangi jawaban itu secara bersamaan. Dianggap selesai, guru yang mengajar tentang Aqidah dan Akhlaq itu beralih kepada pertanyaan lainnya hingga waktu istirahat pun tiba.

Sepintas memang tidak ada masalah dengan cerita di atas, baik dengan guru maupun murid-muridnya. Hanya saja kalau kita perhatikan dengan seksama, terdapat sedikit persoalan cukup mendasar yang akan berdampak kurang baik bagi proses pembentukan karakter anak-anak generasi muslim.

Melepaskan jawaban hanya pada alasan melahirkan, mengasuh dan membesarkan saja—sebagai jawaban dari pertanyaan tersebut—akan membentuk persepsi para murid bahwa berbakti kepada orangtua hanya sebatas mengikuti naluri kemanusiaan saja.

Padahal lebih dari itu, sikap baik dan hormat kepada orangtua merupakan bagian dari syariat Islam yang wajib dilakukan oleh setiap muslim. Itu semua meniscayakan kemurnian niat lillahi ta’ala dari para pelakunya.


Maka ada baiknya seorang pendidik mengarahkan murid-muridnya kepada alasan-alasan syar’i agar pandangan-pandangan metafisis, spiritualitas, dan transendensi dapat dengan sendirinya tertanam dalam jiwa peserta didik.

Artinya, yang menjadi inti persoalan ketika berbicara seputar menghormati dan berbuat baik pada kedua orangtua, ayah dan ibu, tidak cukup hanya dengan pendekatan humanitas. Mustinya berangkat dari konsep seminal (seminal concept) yang secara eksplisit tertera dalam al-Qur’an dan al-Hadits sebagaimana para ulama melakukannya.

Berbakti kepada Orantua dalam Pandangan Islam

Berbuat baik dan berbakti kepada orangtua pada umumnya manusia merupakan prilaku yang terpuji. Bahkan setiap ajaran, kepercayaan, agama dan idiologi manapun memiliki nada yang sama tentang wajibnya menghormati orangtua yang telah berjasa melahirkan, mengasuh, mendidik, dan membesarkan seorang anak hingga dewasa.

Tapi dibalik kesamaan itu ada perbadaan prinsip yang harus kita yakini keabsolutannya. Prinsip tersebut berkaitan dengan konsep mu’ammalah dalam Islam yang salah satunya membahas bagaimana kode etik interaksi seorang anak terhadap ayah dan ibunya. Dalam kontek ajaran Islam, kode etik tersebut terangkum dalam istilah Birrul Walidain yang terjemahan bebasnya adalah berbuat baik kepada orangtua.

Birrul Walidain adalah istilah kunci dalam Islam yang secara konseptual menjadi seperangkat nilai bagi seorang muslim dalam memperlakukan orangtuanya. Kata “al-Birru” secara eksplisit disebutkan dalam hadits Rasulullah yang salahsatunya diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari. Padanan katanya adalah “al-ihsan” yang dapat kita temukan dalam beberapa ayat al-Qur’an, seperti pada surat Al-Baqoroh ayat 83, Al-Isra ayat 23, QS Al-Ahqaaf ayat 15, dan pada Al-An’am ayat 151.

Begitupun dengan “al-Walidain” atau “al-Walidani”, kata ini secara khusus menunjuk dua manusia yang berpasangan, ibu dan ayah, dimana dengan wasilah mereka proses pembentukan (embriologi) yang berupa janin dalam rahim, peniupan ruh, kemudian lahir ke dan tumbuh dewasa di dunia terjadi dengan izin dan kehendak Allah swt. (lihat QS. An-Nahl [16]: 78 dan Az-Zumar [39]: 6)

Islam adalah agama yang syariatnya secara jelas sangat memerhatikan orangtua. Sebagai salah satu bukti, kewajiban berbuat baik serta menghormati kedua orangtua berada setelah diwajibkannya shalat lima waktu kemudian disusul setelahnya perintah berjihad di jalan Allah swt (al-jihad fi sabilillah) dalam pengertiannya yang luas. Rasulullah saw bersabda:

عن بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى مِيقَاتِهَا قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Dari bin Mas'ud radliallahu 'anhu berkata: "Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, aku katakan: "Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling utama?" Beliau menjawab: "Sholat pada waktunya". Kemudian aku tanyakan lagi: "Kemudian apa?" Beliau menjawab: "Kemudian berbakti kepada kedua orang tua". Lalu aku tanyakan lagi: "Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab: "Jihad di jalan Allah". (HR. Al-Bukhari)

Bahkan dalam al-Qur’an, Allah memerintahkan untuk berbuat ihsan kepada orangtua setelah perintah mentauhidkan-Nya. Firman-Nya:

“Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, …”. (QS: Al-Isra [17]:23)

Sebegitu terhormat dan besarnya peran serta jasa-jasa mereka, dalam beberapa ayat al-Qur’an, Allah swt memerintahkan umat-Nya untuk senantiasa menghormati mereka melebihi dari apa yang mereka miliki di dunia. Tidak dapat terbantahkan lagi, bahwa kewajiban ini mengikat siapapun yang secara sadar mengakui kebenaran Islam.

Al-Qur’an menjelaskan bagaimana kedudukan orangtua di hadapan Allah swt. berikut menyebutkan tatacara memperlakukan mereka mulai dari hal yang dianggap sepele. Misalnya, Allah swt melarang kita mengeluh dan gusar kepada orangtua dengan ucapan “ah”. Sebagaimana dalam firman-Nya:

“… Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isra [17]:23)

Logikanya, mengucapkan “ah” saja dilarang apalagi memperlakukan mereka dengan kasar yang dapat membuat hatinya terluka dan tersakiti. Tidak ada kata yang pantas bagi seorang anak yang memperlakukan orangtua dengan kasar atau sekedar mengucapkan “ah” kecuali durhaka (al-‘Uquq).

Rasulullah saw memperingatkan bahwa seorang anak yang mendurhakai orantuanya (‘uququ al-Walidain) adalah pelaku sebesar-besarnya dosa (akbaru al-Kabair) setelah dosa menyektukan Allah sebagaimana beliau sebutkan dalam haditsnya:

أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ أَوْ قَوْلُ الزُّورِ

"Maukah aku ceritakan kepada kalian dosa besar yang paling besar?" Yaitu tiga perkara; mensyirikkan Allah, mendurhakai kedua ibu bapak, dan bersaksi palsu atau kata-kata palsu" (HR. Muslim).

Menurut Yazid bin Abdul Qadir Jawas penulis buku Birrul Walidain, yang dimaksud dengan Uququl Walidain dalam hadits tersebut adalah gangguan yang ditimbulkan seorang anak terhadap kedua orangtuanya baik berupa perkataan maupun perbuatan. (Yazid: 2008)

Inilah bukti bahwa ayat-ayat qur’an dan hadits Rasulullah yang berbicara tentang keharusan seorang anak memuliakan orangtuanya merupakan dalil yang qoth’i (qoth’iyu ad-dilalah) untuk dilaksanakan. Jadi, berbuat baik terhadap orangtua tidak saja mengandung makna dan berorientasi kemanusiaan ansich yang melulu mengedepankan alasan jasa melahirkan dan membesarkan akan tetapi merupakan perintah Allah swt yang secara khusus disebutkan dalam al-Qur’an. Ini berarti, sikap baik seorang anak terhadap kedua orangtuanya tidak saja bersifat insting (naluriah) tapi lebih merupakan aktualisasi amal shalehnya.

Shaleh bermakna “baik” yang mengandung spirit penghambaan kepada Yang Kuasa, Allah swt. Amal shaleh adalah perbuatan baik yang berdasakan pada dimensi iman dimana Allah swt menjadi tujuan akhirnya (ihsan). Adapun anak yang shaleh adalah mereka yang selalu mendo’akan keselamatan dan pengampunan dosa bagi orantuanya baik semasa hidup maupun setelah kepergiannya.

"Tuhan kami, beri ampunlah Aku dan kedua ibu bapaku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)". (QS Ibrahim [14]:41)

Shalehnya seorang anak adalah buah pendidikan orangtua. Maka Rasulullah menjadikan anak yang shaleh sebagai warisan yang membuat mereka tetap ‘hidup’ sekalipun hayat tak lagi di kandung badan.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ الله صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٌ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ

“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Apabila salah seorang menusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selalu mendo’akannya”.” (HR. Muslim)

Oleh karena itu segala perbuatan baik akan menjadi sia-sia (habithat al-a’malu) apabila tidak berlandaskan niat yang tulus dan ikhlas sebagai bentuk loyalitasnya terhadap postulat-postulat ilahiyah. Prinsip seperti inilah yang seharusnya menjadi framework seorang muslim setiap kali melakukan suatu amalan termasuk pada saat berinteraksi dengan ibu dan bapaknya. Wallahu a’lam■

Tidak ada komentar:

Posting Komentar